Friday, December 10, 2010

TINAJUAN TERHADAP MEDIASI DEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERKARA PERDATA

BAB I PENDAHULUAN Pada era baru yang disebut jaman reformasi layaknya saat ini. Banyak sekali perubahan-perubahan yan terjadi. Perubahan diatas membias kesegala aspek kehidupan baik ekonomi, sosial politik dan hokum. Imbas dari adanya perkembangan hukum berdampak pula pada makin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat dalaam kontes ini dapat dilihat dari makin meningkatnya perkara khusus Perdata yang diterima dan diperiksa oleh Pengadilan tingkat pertama (Pengaidalan Negeri) dari tahun-ketahun. Banyalnya perkara perdata yang diajukan oleh para pihak untuk diperiksa dan diadili oleh hakim dan dapat menimbulkan terjadinya penumpukan perkara yang pada akhirnya berimplikasi pada proses penyelesaian perkara. Lembaga peradilan selaku pemegang kekuasaan Yudikatif dituntu untuk bekerja maksimal dan selalu menemukan stimulan dan resep baru untuk menjawab tantangan tersebut. Oleh mahkamah Agung republic Indonesia dalam menyikapi hal itu telah mengeluarkan beberapa peraturan yang secara khusus mengatur mengenai suatu lembaga perundingan atau dikenal dengan MEDIASI yang diharapkan dapat menjadi jalan keluar atas lembatnya proses penyelesaian sengketa. Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003 yang merupakan norma hukum yang menyempurnakan Surat Edaran Mahkamah Nomor 1 tahun 2002 Tentang Mediasi. PERMA NOMOR 2 Tahun 2003 menjadika Mediasi sebagai bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses beracara dipengadilan diharapkan dapat menjadi instrumen efektif mengatasi penumpukan perkara di Peradilan. B. LATAR BELAKANG LAHIRNYA PROSES MEDIASI Prose Mediasi yang dimaksud disini adalah mediasi sebagaiaman yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 “Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Dari pngertian mediasi senbagaimana disebut diatas mengandung makna yakni, para pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak melalui jalur perundingan dengan dibantu oleh seorang Mediator. Dengan adanya kesepakatn yang telah dibuat oleh kedua belah pihak diharapkan dapat meminimalisir terbuangnya waktu serta biaya yang akan dikeluarkan oleh mereka dalam penyelesaian sengketa. Mediasi merupakan alternative penyelesaian sengketa atau biasa dikenal denga istilah “Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa”/MAPS, yang merupakan terjemahan daripada “Alternatif Dispute Resolutiaons” yang tumbuh pertama kali di Amerika Serikat. Mediasi ini lahir dilatarbelakangi oleh lamabatnya proses penyelesaian sengketa di Pengadilan, oleh karena itu Mediasi ini muncul sebgai jawaban atas ketidak puasan yang berkembang pada system (praktek) Peradilan yang bermuara pada persoalan waktu, biaya dan kemampuannya dalam menangani kasus yang lompleks. Dalam perkembangannya kemudian istilah yang digunakan adalah Dispute Resolutiaons (DR) atau Mekanisme penyelesaian Sengketa (MPS) karena lebih memberikan nuansa yang tidak menyudutkan lembaga Peradilan dan memang dalam perkembangannya MPS bukanlah terikat dalam prose peradilan tetapi merupakan pola yang dapat diintegrasi dalam proses peradilan. Berdasarkan uraian ini maka yang menjadi latar belakangnya adanya Proses mediasi adalah sebagai berikut: 1. Mempecepat Proses penyelesaian sengketa. Berperkara di pengadilan ditengarai memerlukan waktu dan lambat, pendapat ini tidak bias dislahkan karena memang secara procedural untuk memulai hingga sampai pada tingkat pemeriksaan atau perkara Pengadilan membutuhkan waktu antar 5 sampai 6 bulan itu baru pada pemeriksaan pada pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) belum lagi jika dihitung dengan proses pemeriksaan pada Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung apabila adanya uapay hukum baik itu Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, bias bertahun-tahun lamanya suatu perkara memperoleh putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.vwalaupun perlu dicatat disini adalah bahwa lambatnya proses penyelesaian perkara ini bias berasal dari factor para pihak pada hari siding yang telaj ditentukan. 2. Menekan Biaya. Biata mahal yang harus dikeluarkan oleh para pihak untuk menyelesaiakan sengketa di Pengadilan timbul oleh karena mereka diwajibkan membayar perkara secara resmi telah ditentukan oleh Pengadilan, belum lagi ditambah dengan upah yang dibayarkan kepada Pengacara/Advokat bagi pihak yang menggunakan jasa mereka. Dalam kasus-kasus tertentu terkadang biaya yang dikeluarkan oleh pihak penggugat misalnya, lebih besar jumlah nominalnya jika dibandingkan dengan nilai materil atas suatu hak yang diperjuangkannya. Hal ini ternyata kurangg membawa dampak hal positif bagi pihak yang memenangkan sesuatu dengan demikian azas peradilan yang cepat dan biaya ringan belum dapat diwujudkan sepenuhnya. Kaarena itu dengan jalan Mediasi diharapkan biaya yang dikeluarkan untuk berperkara dipengadilan dapat dikurangi seminimal mungkin. 3. Putusan Pengadilan tidak Menyelesaiakn Perkara. “Menagn jadi arang kalah jadi abu” begitu kira-kira pameo yang digambarkan jika suatu sengketa yang diselesaikan dengan menggunakan jalur Legitasi. Sinyalement tersebut mencerminkan putusan pengadilan terkadang tidak serta merta menyelesaikan persoalan, sehingga dikembangkan wacana untuk sebisa mungkin menyelesaiakn persoalan, sengketa melalui jalur perundingan, karena dengan melakukan hal itu akan mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar, baik kerugian yang berupa moril maupun materil. Menurut M. Yahya Harahap tidak ada putusan pengadilan yang mengantar para pihak yang bersengketa kearah penyelesaian masalah, Putusan Pengadilan tidak bersifat PROBLEM SOLVING diantar pihak yang bersengketa melainkan putusan pengadilan cendrung menempatkan kedua belah pihak pada dua sisi ujung yang saling berhadapan, karena menempatkan salah satu pihak pada posisi pemenang (the winner) dan menyudutkan pihak yang lain sebagai pihak yang kalah (the losser), selanjuntnya dalam posisi ada pihak yang menang dan kalah, bukan kedaiaman dan ketentraman yang timbul, tetapi pihak yang kalah timbul dendam dan kebencian. III. BEBERAPA CATATAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN Lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 tahun 2003 adalah dimaksudkan untuk menyempurnakan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2001 yang dirasa kurang sempurna. Dua Surat Edaran ini sebenarnya bukan merupakan hal baru dalam system beracara khususnya Perdata dalam dunia peradilan kta, jauh sebelumnya metode perdamaian /Mediasi, telah dikenal hal ini dapat dilihat jelas pengaturan mengenai proses peerdamaian dalam pasal 130 HIR/154 RBG. Hal pokok yang ditentukan dalam pasal tersebut adalah para pihak yang bersengketa harus terlebih dahulu diberi kesempatan untuk melakukan perdamaian pada siding perdana oleh Pengdilan Negeri dalam hal ini Hakim. Upaya hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa bersifat imperatif, Hakim diwajibkan melakukan hal itu, hal ini dapat ditarik dari ketentuan pasal 131 ayat (1) HIR, yang menyatakan jika hakim tidak dapat mendamaikan para pihak, maka hal itu mesti disebutkan di berita acara siding. Kelalaian menyebutkan itu dalam berita acara mengakibatkan pemeriksaan perkara mengandung cacat formal dan berakibat pemeriksaan batal demi hukum, oleh karena itu upaya perdamaian ini tidak diabaikan dan dilaksanakan. Melihat sifat mediasi atau perundingan sebagai suatu yang penting maka apabila Mahkamah Agung selaku peegang kekuasaan tertinggi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman mengeluarkan produk hukum berupa surat edaran guna mengektifkan proses mediasi. 1.Pasal 1 pont 10, BAB I Ketentuan Umum SE No. 2 Tahun 2003 Menyatakan, sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatkan bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditsi oleh Mahkamah Agung. Menurut penulis yang menjadi persoalan dari kedua pasal sebagaimana disebutkan diatas adalah, disatu sisi Mahkamah Agung belum pernah menunjuk ataupun memberi akreditsi lembaga mana yang berhak mengeluarkan dokumen berupa sertifikat kepada seorang untuk diakui keabsahannya sebagai mediator, sedangkan disisi lain seorang hakim yang ditunjuk sebagai mediator belum tentu dapat melaksanakan tugas trsebut denga baik hal ini disebabkan oleh karena kemampuan par hakim bersifat jeneralis, hal ini tidak sesuai denga perkembangan ilmu dan teknologi yang telah membonceng barbagai mecam permasalahan yang kompleks, sehingga diperlukan cara-cara penyelesaian berdasarkan keahlian yang professional, sedangkan para hakim hanya memiliki pengetahuan yang bersifat luar saja oleh karena itu tidak mungkin diharapakan penyelesaian yang baik dan objektif dari para hakim. Peran penting seorang mediator dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Mediator harus berada ditengah para pihak, mediator bertindak sebagai pihak ketiga yang menempatkan diri benar-benar ditengah para pihak 2. Mengisolasi proses mediasi. Medaitor tidak berperan sebagai hakim yang bertindak menentukan pihak mana yang salah dan benar, bukan pula bertindak dan berperan sebagai penasehat hukum, jug tidak mengmbil peran sebagai penasihat hukum atau mengobati, melainkan mediator hanya berperan sebagai penolong. 3. Medaitor harus mampu menekan reaksi dalam point ini seorang Mediator yang baik harus mampu berperan untuk menghargai apa saja yang dikemukakan kedua belah pihak, ia harus menjadi seorang pendengar yang baik mampu mengontrol kesan buruk sangka, mampu berbicara dengan terang dengan bahasa yang netral, mempu menganalisa dengan cermat fakta persoalan yang kompleks serta mampu berpikir diatas pendapat sendiri. 4. Memapu mengarahkan pertemuan pemeriksaan, sedapat mungkin pembicaraan pertemuan tidak melantur dan menyinggung serta mampu mengarahkan secara langsung kearah pembicaraan. 5. Pemeriksaan bersifat konfidensil, segala sesuatu yang dibicarakan dan dikemukakan oleh para pihak harus dianggap sebagai INFORMASI RAHASIA, oleh karena itu Mediator harus memegang teguh kerahasiaan persengketaan maupun identitas pihak-pihak yang bersengketa. 6. Hasil kesepakatan dirumuskan dalam bentuk KOMPROMIS, kedua belah pihak TIDAK ADA YANG KALAH dan TIDAK ADA YANG MENANG, tetapi sama-sama MENANG. 2. BAB I Pasal 2 ayat (2) Dalam melaksanakan fungsinya mediator wajib mentaati kode etika meditor Pasal tersebut menggambarkan seolah-olah mediator berasal dari satu komunitas yang terdiri dari orang-orang yang berda dalam satu profesi, denga demikian mereka diatur secara khusus mengenai etika dan sikap yang harus ditaati. 3. BAB II Pasal 3 ayat (3) “Hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya mediasi” Maksud dari pasal ini kurang dirasa jelas dan terkesan membias oleh penulis, sebab jika hanya untuk menjelaskan biaya dalam proses mediasi ini tidak perlu disampaikan oleh hakim, karena jika para pihak ingin menggunakan jasa hakim untuk bertindak sebagai mediator tentunya dapat diperoleh secara gratis. IV. MAKNA PENTINGNYA MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Tidak bias dipungkir bahwa upaya penyelesaian suat perkara demikian sulit, rumit dan berbelit-belit. Begitulah kira-kira pendapat sebagaian orang sehingga muncul wacana bahkan upaya yang telah dilakukan untuk sedapat mungkin menyelesaikan sengketa tanpa melalui proses legitasi, sebagai contoh dalam menghadapi suatu sengketa para pihak yang berperkara khususnya pihak penggugat sebagai pihak yang bersinisiatif berperkara untuk sdapat mungkin mengakhiri sengketa dengan jalur damai. Begitupun halnya keuntungan dari segi biaya, tentunya biaya yang akan dikeluarkan akan lebiih murah, karena tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak dan yang lebih penting lagi perdamaian akan mampu memulihkan hubungan baik diantara pihak yang berperkara, lebih-lebih bilaman para pihak yang berperkara tersebut adalah mereka yang nota bene sesame mitra usaha yang memerlukan suasana hubungan yang bersifat kolegitas, bias dibayangkan apabila muncul persoalan diantara mereka kemudian diselesaikan melalui proses persidangan yang pada akhirnya akan berakibat pada kedua belah pihak menang dan kalah. Pentingnya mediasi dalam kontes ini dimaknai bukan sekedar upaya untuk meminimalisir perkara-perkara yang masuk kepengadilan baik itu pada pengadilan tingkat pertama maupun pada tingkat banding sehiingga badan peradilan dimaksud terhindar dari adanya timbunan perkara, namun lebih dari itu Mediasi dipahami dan diterjemahkan dalam proses Penyelesaian sengketa secara menyeluruh dengan penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu sengketa . Walaupun dalam kenyataannya setiap perkara yang masuk ke pengadilan Negeri sebagaian besar tidak dapat didamaikan lagi dengan upaya perundingan, namun itu bukan berarti uapaya ini kita matikan sama sekali, akan tetapi justru itu perannya yang menjadi tantangan menjadi Mediator yang ulung dengan menerapkan kemampuan dan kemahiran untuk mengakhiri suatu sengketa. Oleh karena itu Meiddiasi hendaknya dijadikan sebagai lembaga pertama dan terakhir dalam menyelesaiakn sengketa antar para pencari keadilan, Karena penyelesaian sengketa melalui proses Legitasi banyak yang tidak berakhir manis, fenomena yang tak jarang kita temukan bias menjadi suatu gambaran betapa nestapa yang sering mengiri pihak-pihak yang berperkara, disatu sisi bagi pihak yang menang ia mengeluarkan biaya yang tinggi terkadang tidak sesuai dengan nilai ekonomis barang yang diperebutkan dan disisi lain pihak yang kalah sering tidak dapat menerima kekalahan yang menyebabkan adanya tekanan psikologis dan timbul depresi yang pada akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk tindakan anarkis yang kerap kita jumpai. Hal yang demikian tentunya bukanlah merupakan harapan dari kita semua karena konflik yang terjadi antar individu bias memicu konflik yang lebih luas seperti konflik antar kelompok. Hakin selaku orang yang dipandang arif dan bijaksana tentunya dapat melakukan hal preventif, hal ini kiranya senada dengan apa yang dikatakan oleh salah seorang hakim Agung RI “para hakim dalam menjalankan kewajiban aasinya yaitu upaya untuk menegakkan supermasi hukum berfungsi memperat kohesi persatuan nasional dan mencandra massa depan penegak keadilan, demokrasi serta peradaban bangsa” V. PENTINGNYA PERANAN HAKIM DALAM PROSES MEDIASI Peranan hakim menjadi sangat penting karena ia dapat bertindak sebagai mediator dala proses mediasi, disamping terbatasnya tenaga mediator yang berasal dari kalangan non-hakim, acapkali para pihak yang bersengketa Menunjuk hakim pengadilan Negeri sebagai mediator, untuk itu tidaklah berlebihan apabila kita memaknai letak pentingnya hakim dalam memainkan perannya sebgai mediator. Sebgai mediator tentunya hakim berda ditengh-tengah pihak yang bersengketa ia tidak memihak dan mewakili salah satu diantar mereka . terkadang pihak yang bersengketa sudah sulit untuk didamaikan hal ini diperparah lagi denga tipikal masyarakat kita yang oleh Prof. Hikamhanto Juwana, S.H, M.H, LLM, Phd disinyalement sebagai “Masayarakt Pencari Kemenangan Bukan Keadilan “. Tipkal mencari suatu keadilan merupakan suatu tantangan bagi mediator dalam upaya mendamaikan pihak yang bersengketa. Masyarakat bertipikal mencari kemenangan hanya berorientasi pada untuk mencari kemenangan dan ia sanggup untuk melakukan apa saja yang menjadi keinginannya tampak melihat dampak yang ditimbulkan. Persepsi inilah yang mungkin dapat diubah oleh seorang mediator, bahwa keadilan berbeda denga kemenangan. Kemenangan yang diraih adalah kemenangan yang tidak hakiki apabila dalam proses mencapai hal itu dijalankan dengan menghalalkan segala cara, apalagi kemenangan yang diraih mengorbankan rasa adil yang sesungguhnya, karena menimbulkan penderitaan bagi pihak yang kalah. Walaupun rasa adil bagi setiap orangg bersifat realtif. Oelh karena itu peran seorang hakim dalam perannya selaku mediator sangat penting, denga kemampuan profesionalnya ditunjang dengan kewibawaannya yang timbul dari sifat arif dan bijaksana selaku seorang hakim diharapkan aka membias pada waktu ia berperan sebagai seorang mediator, yang pada akhirnya membawa kedua belah pihak kealam kesadran bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan akantetapi untuk diselesaiakan. Sudah merupakan hal yang lazim, dalam perjalanan seorang yang bergelut dalam suatu profesi, ia membutuhkan prose dan peningkatan karir terhadapa prestasi yang diraihnya karena akan membawa kepuasan moril tersendiri baginya, begitupun bagi seorang hakim salah satu prestasi yang mungkin ingin dicapai adalah menghasilkan putusan yang menjadi trade mark dan diikuti oleh hakim-hkim yang lain atau lazim dikenal yurisprodensi. Namu untuk mencapai hal itu bukan sutu hala yang mudah karena “ tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau putusan hakim tingakt banding yang walaupun telah berkekuatan hukum tetap secara serta merta menjelma menjadi Hukum Yurisprodensi karean untuk dapat dikategorikan sebagai Hukum Yurisprodensi masih harus melalui tahapan proses Eksaminasi dan Notasi dari Mahkamah Agung denga rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standard hukum Yurisprodensi tetap” Namun hal itu sama sekali bukan menghilangakan niat sang hakim untuk mencapai hal itu tetao memberikan apresiasi dengan usaha yang dilakukan. Disela-sela ikhtiarnya tersebut hakim dapat menjalankan tugas selaku mediator yang sukses sehingga tidak perlu menunggu lama untuk berprestasi yang diraihnya dan tentunya membwa kepuasan tersendiri. “ Hkim adalah prototype ahli hukum yang mencari penyelesaian sengketa” Apa yang dikemukakan oleh Van Gerven daitas seakan ingin mempertegas seorang hakim, bahwa hakim adalah contoh ahli hukum yang mencari penyelasian sengketa, walau ada banyak ahli hukum lain akan tetapi hanya hakim lah yang memiliki kewenangan untuk menyelesaiakan sengketa. Dengan demikian makna kalimat penyelesaian sengketa harus diterjemahakan secara mendalam sehingga pada waktu seorang hakim dihadapkan pada suatu kasus/sengketa yang pertam muncul dalam benaknya adalah bagaiman menyelesaikan sengketa itu tanpa menimbilkan hal baru. Mengakhiri pembahasan ini penulis ingin mengutip pernyataan yang disampaikan oleh bapak Ketua Mahkamah Agung RI pada kongres III itakan Hakim Agama di solo pada tanggal 21 April 2006. “bahwa salah satu standard peradilan yang universal adalah peradilan agama harus mewujudkan fungsi-fungsi hukum seperti fungsi control social, fungsi kesejateraan, fungsi pembaharuan, fungsi kedamaian dan lain-lain.” VI PENUTUP Pada prinsipnya penyelesaian sengketa dengan metode mediasi adalah merupakan terjemahan dari karakter budaya bangsa Indonesia yang selau mengedapankan semangat koopratif. Semangat kooperatif sudah mengakar sehingga nuansa muyawarah selalu dihadirkan dalam upaya menyelesaiakan setiap persoalan kemasyarakatan termasuk juga soal penyelesaian hukum melalui upaya musyawrah atau mufakat. Oleh karean model penyelesaian sengketa melalui jalur medisi mengandung dan mengutamakan prinsip-prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang selaras budaya bangsa, maka sudah selayaknya mediasi ini dijalankan secara maksimal dalam setiap proses penyelesaian sengketa disetiap Lembaga Peradilan. Oleh karean itu Lembaga Mediasi seyogiyahnya tidak dijadikan sekedat formalisme dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan Tingkat Pertama namun harus dijaidkan sebagai lembaga pertama yang menjadi tempat enyelesaian sengketa oleh para pihak. Sebgai mediator hukum tentunya mempunyai peranan penting dalam memaksimalakn lembaga mediasi sebagai tempat penyelesaian sengketa. Pentingnya peranan hukum sebagai seorang mediator bias dijalankan secara baik apabila ia mempunyai kemamuan sebagai seorang mediator. Kemam[uan seorang dalam menjalankan perannya secara profesioanal memerlukan pendidikan dan pelatihan secara bertahap oleh karena itu rasanya tidak berlebihan apabila Mahkamah Agung mengadakan Pendidikan dan Pelatihan Khusus bagi para hakim di pengdilan tingkat pertama mengenai Mediasi, namun dimaklumi terbatasnya anggaran yang dimiliki. Maka pelaksanaan pelatihan ini dapat disiasati denga memasukkan materi ini dalam misalnya Diklat Bagi Calon Hakim dan diklat-diklat lain yang melibatkan hakim Mediator harus dibekali dengan pengetahuan khusus sebagai mediator, karean hakim mempunyai pengetahuan yang umum tidak spesifik sedangkan sengketa yang diajukan untuk diperiksa beraneka ragam. Karena kiranya kekurangan yang masih terdapat didalam PERMA No.2 Tahun 2003 Tentang Mediasi dapat disempurnakan Sehingga Lembaga Mediasi ini dapat berjalan denga baik seseuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Satu hal yang perlu dicatat ini adalah bahwa untuk memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Mahkamah Agung RI mengenai Mediator dari kalangan non- Hakim yang harus memiliki sertifikat sebagai mediator maka harus ditunjukkan sautu lembaga mana yang berhak mengeluarkan sertifikasi terhadpa seorang mediator, sampai saat ini sepengetahuan penulis belum ada lembaga yang diberi wewenang/akreditasi oleh Mahkamah Agung RI sebagai lembaga yang berhak engeluarkan sertifikasi Mediator.

No comments:

Total Pageviews